Kelegaan yang Sejati

https://www.youtube.com/watch?v=agDQEITG_kg

Matius 11:28-29 11:28 Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. 11:29 Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.

Saya kira ayat ini sudah sangat terkenal, populer, dan sangat akrab di telinga kita. Banyak pembicara telah mengkhotbahkannya dan saya kira ada buku-buku yang ditulis dengan tema yang diangkat dari ayat ini. Dari dulu kita sering mendengar orang mengkhotbahkannya. Tentu ayat ini terkenal karena ada janji kelegaan di sini. Siapa orang yang tidak ingin kelegaan, Saudaraku? Persoalannya adalah, apa yang dimaksud kelegaan di sini? Banyak orang yang salah memahami kata kelegaan di ayat ini.

“datanglah kepadaku, kau kuberi kelegaan.”

Pasti pengertian banyak orang, kelegaan di sini adalah:

  • Lega karena yang tadinya sakit menjadi sembuh
  • Lega yang tadinya tidak memiliki teman hidup, mendapat jodoh
  • Lega yang tadinya ada utang tetapi sekarang sudah bisa dibayar
  • Lega karena yang tadinya belum punya anak, lalu punya keturunan
  • Lega tadi belum punya rumah, sekarang punya rumah
  • Lega tadi punya banyak persoalan, sekarang tidak punya persoalan yang menyakitkan

Itu pengertian yang TIDAK TEPAT sebenarnya. Apa bedanya orang datang ke dukun atau yang sering disebut orang pintar? Untuk mendapat penyelesaian dari masalah-masalah dunia fana, untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan jasmani.

Kita harus mengerti inti dari injil yang sesungguhnya. Injil Tuhan Yesus bukan untuk menyelesaikan masalah-masalah pemenuhan kebutuhan jasmani. Sebab pemenuhan kebutuhan jasmani itu sudah ada hukum atau tatanannya. Saudara sakit, Saudara bisa ke dokter atau mengubah pola makan atau pola hidup. Anda memiliki persoalan ekonomi, Anda kerja keras, hemat, bisa keluar dari persoalan tersebut.

Memang ada hal-hal yang perlu pertolongan Tuhan. Hal-hal yang di luar kemampuan kita apapun masalahnya. Tetapi, inti persoalan hidup manusia bukan pemenuhan kebutuhan jasmani. Kalau persoalan pemenuhan kebutuhan jasmani, semua agama juga bisa menjanjikannya. Tetapi Yesus membawa berkat yang tidak bisa diberikan oleh siapapun.

Kelegaan di ayat ini artinya perhentian, istirahat. “anna pauso” artinya perhentian. Perhentian di sini bukan “berhenti dari keadaan yang tidak menyenangkan”. Seperti yang tadi telah saya sebut, dari sakit jadi sembuh, dari miskin jadi kaya, lalu lega. Kalau hanya itu, kuasa kegelapan juga bisa memberi. Kelegaan di sini harus dilihat dari versi Tuhan. Kelegaan versi Tuhan, yang tidak bisa diberikan dunia, yang tidak bisa diberikan siapapun. Hanya Tuhan yang bisa memberikan. Hanya Tuhan Yesus yang bisa memberikan kelegaan versi Tuhan, perhentian versi Tuhan.

Dalam bahasa Indonesia, kata kelegaan ini diterjemahkan menjadi dua kata yang berbeda:

  1. Datanglah kepada-Ku yang letih lesu dan berbeban berat, Aku beri kelegaan.
  2. Pikullah kuk yang Kupasang, belajar pada-Ku, maka kamu beroleh ketenangan.

Itu dua kata yang sama dalam bahasa Yunani, tapi yang satu diterjemahkan kelegaan, yang kedua diterjemahkan jiwamu mendapat ketenangan. Ini kalau tidak teliti, orang bisa salah menafsirkan. Mestinya ayat 28, kata “anna pauso” tadi diterjemahkan “kelegaan”, lalu ayat yang berikutnya 29, juga harus diterjemahkan “kelegaan”. Tapi sayang sekali, membedakan terjemahan ini bisa mengacaukan pikiran.

Tuhan berkata “datang padaku, kau kuberi kelegaan”, “datanglah kepada-Ku, kamu kuberi perhentian”. Tetapi untuk mengalami kelegaan atau perhentian itu, harus belajar. Maka Yesus berkata “belajar padaKu, supaya kamu memiliki kelegaan itu”. Nah, Saudaraku, kelegaan itu perhentian dan untuk menikmati perhentian dari Tuhan, harus belajar dari Tuhan. Tidak otomatis dapat memiliki kelegaan itu. “Belajar padaku!” baru kamu akan menikmati kelegaan tersebut. Nah, banyak orang yang mengartikannya keliru. Jadi, orang berkata, “Mari berdoa, mari kita doakan, nanti kamu akan mendapatkan kelegaan.“ dan kelegaan itu maksudnya bisa meyelesaikan masalah-masalah fana dunia. Kelegaan (di situ) diartikan sebagai “dipenuhinya sebuah kebutuhan, lalu merasa puas, lengkap, utuh tidak berkekurangan.” Ini menyesatkan, sebab orang kristen harus tahu bahwa hidup kita merasa lengkap bukan karena kita memiliki jodoh, bukan karena kita memiliki rumah pribadi, bukan karena cita-cita kita tercapai. Hidup kita lengkap karena kita menemukan perhentian di dalam Tuhan, perhentian di dalam Yesus Kristus. Ini yang Saudara harus mengerti. Perhentian dalam Tuhan Yesus Kristus ini kehidupan yang lengkap, utuh, tidak berkekurangan, sekalipun tidak memiliki apa-apa maupun siapa-siapa. Prinsipnya “Yesus cukup bagiku”.

Tapi bagaimana hal ini bisa terjadi? Sebab banyak orang berpikir kalau percaya Tuhan Yesus otomatis mendapat perhentian. Ingat, Tuhan berkata demikian Saudara, “Damai sejahtera yang kuberikan kepadamu, tidak seperti yang diberikan dunia”. Siapapun kalian bisa menikmati kesejahteraan dunia, tetapi kalau damai sejahtera Tuhan, “damai sejahtera-Ku sendiri yang kuberikan padamu”, itu harus orang yang bisa mengerti dan menikmati damai sejahtera tersebut.

Orang bisa mendapatkan mobil mewah, tapi kalau tidak bisa mengendarai mobil, percuma mobil mewah itu. Demikian pula damai sejahtera yang Tuhan berikan. Tidak bisa dinikmati sembarang orang. Perhentian di dalam Tuhan Yesus Kristus tidak bisa dinikmati sembarang orang. Harus belajar dari Tuhan.

Apa yang kita pelajari dari Tuhan? Tentunya hidup-Nya. Belajar dari hidup yang dijalani oleh Tuhan Yesus. Prinsip hidup Tuhan Yesus adalah "makanan-Ku melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya”. Makanan-Ku melakukan kehendak Bapa atau rezekiku melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaannya. Tuhan Yesus menyatakan di sini bahwa tidak ada bagian apa-apa bagi diri-Nya, semua untuk Bapa di surga. Itulah sebabnya Ia melepaskan semua hak-Nya, taat sampai mati di kayu salib. Ia melepaskan SEMUA HAK dan hidup hanya untuk kepentingan Bapa di surga. Inilah hidupnya Tuhan Yesus. Itulah puncak dari kemerdekaan. Dalam bahasa Inggris ada kata “ultimate freedom”, kebebasan puncak, kebebasaan yang maksimal, optimal, sejati.

Mengapa orang letih lesu dan berbeban berat? “datanglah kepadaku kamu yang lelah lesu dan berbeban berat”. Mengapa orang letih lesu dan berbedan berat? Karena keinginannya, hasrat-hasratnya, ambisi pribadinya, cita-cita pribadinya. Itu melelahkan. Di dunia yang sudah rusak ini, tidak ada kebahagiaan di sini. Apapun cita-cita yang dapat kau raih, apapun yang bisa Saudara miliki, TIDAK akan dapat membahagiakan. Kecuali Saudara menjadi anak dunia, diasuh oleh kuasa kegelapan, Saudara baru bisa merasakan kebahagiaan dari dunia ini, dan memang rata-rata manusia demikian. Tetapi itu kebahagiaan PALSU yang memarkir manusia di DUNIA dan menggiringnya ke dalam kegelapan abadi—dan itu yang meletihkan.

Sekali lagi, ini dari versi atau sudut pandang Tuhan. Kalau Saudara percaya Tuhan Yesus, Saudara harus percaya kebenaran ini. Tidak ada kebahagiaan di dunia ini. Kalau kita mau mendapat perhentian di dalam Tuhan, belajar dari Tuhan Yesus yang prinsip hidup-Nya makanan-Ku melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya”.

Kedengarannya ini konyol, “hidup macam apa ini?!“. Tetapi itulah konsekuensi anak tebusan. Itu konsekuensi orang yang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Ketika Tuhan menebus kita, seperti yang dikatakan dalam (1 Kor 6:19-20), Tuhan berfirman “Kamu bukan milik kamu sendiri”.  Berapa persen milik kita, berapa persen milik Tuhan? Tuhan jelas berkata, “KAMU BUKAN MILIK KAMU SENDIRI”, artinya 100% milik Tuhan. Tolong ini dipahami bukan soal uang, persembahan, atau persepuluhan. Soal uang itu soal kecil. Ini soal sikap hati, bagaimana kita mengakui hidup kita milik Tuhan dan kita hidup di dalam kedaulatan Allah.

Saudaraku, kita akan menyesal kalau kita mau menyenangkan diri sendiri dengan cara anak-anak dunia. Ketika kita bertemu dengan Tuhan suatu hari, Tuhan berkata “Bukankah kamu sudah menjadi milik-Ku? Tetapi kamu mau mencari kesenangan dunia seperti anak dunia?” Seberapa senang kamu bisa memiliki semua itu? Sekalipun engkau bisa meraih seluruh dunia ini, kalau jiwamu binasa, apa artinya? Berapa lama kau bisa menikmatinya? 80 tahun? 90 tahun? Pada umumnya tidak lebih dari 100 tahun. Dan di dunia ini, Saudaraku, kita ada dalam bahaya besar sebab kuasa kegelapan memang menyediakan dan menawarkan keindahan dunia, dan bahaya besar kalau kita menikmati dunia seakan-akan kita tidak bersalah karena kita tidak melanggar hukum ataupun norma umum. Saudaraku, menjadi anak-anak Allah itu luar biasa. Saya kalau mengatakan “tidak menikmati dunia” bukan berarti lalu kita tidak punya kebahagiaan hidup, justru kita bisa mendapat perhentian. Apakah tidur di atas kasur atau di atas papan keras, sama saja. Apakah makan daging empuk atau ikan asin, tidak masalah. Ini bukan masalah lidah, tetapi masalah hati. Mau tinggal di rumah besar dan mewah atau tinggal di rumah kecil kontrakan, kembali, sikap hati. Apakah naik mobil mewah atau naik motor. Kebahagiaan kita mestinya bukan benda. Masalahnya hati, Saudara.

Tuhan mau memberi kita perhentian. Itulah sebabnya Paulus bisa mengatakan “Asal ada makanan pakaian, cukup”. “Lah, tapi kalau hidup sekarang hanya makanan dan pakaian bagimana Pak?”, maksud Paulus adalah lebih dari yang kita makan atau yang kita pakai, semua milik Tuhan. Apakah kita tidak boleh menikmatinya? Roh Kudus akan menuntun kita. Kita ini bukan monyet yang jalan dari dahan ke dahan, dari ranting ke ranting. Kita itu manusia yang memiliki seni, mendengar musik, bisa merasakan berbagai jenis masakan, melihat pemandangan alam, bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar kita—itu bisa menjadi kenikmatan, tetapi tidak menjadi belenggu atau ikatan dan kita melakukan semua itu di dalam kehadiran Allah, dalam penghayatan hidup di hadirat Allah.

Kalau suatu hari misalnya kita tidak berkesempatan lagi berteman dengan seseorang, ya tidak masalah. Suatu kali misalnya kita tidak bisa tinggal di rumah besar, rumah kecil juga tidak masalah. Hidup kita tidak terikat dengan dunia ini. Kita bisa menikmati hidup dengan segala fasilitasnya, tetapi tidak terikat di dalamnya. Mengapa? Karena prinsip kita adalah “melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya”.

Dari waktu ke waktu, yang kita lakukan adalah bagaimana kita berbuat sesuatu yang tidak menyakiti hati Bapa. Dari setiap kata yang kita ucapkan, setiap tindakan, keputusan, dan pilihan kita, kita berharap selalu membuat senyum Bapa di surga. Tidak usah muluk-muluk menjadi misionaris masuk ke Papua atau pergi ke luar negeri menjadi misionaris. Memang ada orang-orang yang dipanggil untuk itu, tapi tidak banyak. Kita fokus dari waktu ke waktu, dari saat ke saat untuk selalu melakukan apa yang tepat menurut kehendak Bapa. Apa yang menyenangkan hati Bapa, itulah pikiran dan perasaan Kristus. Di situlah kita memiliki perhentian.

Tetapi kalau yang kita lakukan adalah bagaimana kita merasa senang tanpa memedulikan perasaan Tuhan, bagaimana kita merasa bangga dan terhormat tanpa menjaga perasaan Bapa, kita akan jadi lelah dan capek. Saya ambil contoh, orang punya rumah, kita tidak punya rumah. Orang terhormat, kita kurang terhormat. Orang punya jodoh, punya anak, kita ga punya jodoh ga punya anak. Lelah bukan?

Ada satu kata penting di sini, yaitu simplicity atau kesederhanaan. Hari-hari ini sebelum tidur, kata simplicity muncul di pikiran saya. Hidup harus menjadi simple, yang penting kita bisa menjalani hidup. Menerima apa saja yang Tuhan percayakan kepada kita, jalani saja apa yang harus kita jalani, yang penting yang pertama itu adalah kita tidak melukai hati Bapa di surga.

Maka ada satu lagu yang saya tulis, kalimatnya begini:

Tak lagi kuminta apapun kepada-Mu Bapa di surga

Hanya Engkau kebutuhanku, kerinduanku

Hanya satu saja kuminta, berkenan di hadapan Bapa

Menyenangkan-Mu s’gala perkara, menjadi kesukaan-Mu

Di sini kita menemukan kemerdekaan itu. Memang tidak bisa dijelaskan seluruhnya secara utuh, Saudara harus mengalami simplicity itu.

Contoh lain supaya lebih jelas: Biar saya pendeta, juga saya ingin jadi pendeta besar DULU. Jemaat banyak, ada gedungnya, musiknya bagus, memiliki televisi dan radio, karena pendeta lain juga bisa, aku juga bisa lakukan. Bukannya Tuhan melarang, Saudara, tetapi apakah itu sesuai kehendak Bapa? Tetapi kita tidak peduli, “aku senang”. Kalau kebaktian orang banyak datang, “wah aku senang”. Acara bagus, “oh aku senang.” “saya seperti raja kecil di gereja ini dengan hulu balang-hulu balang para pengerja”. Betapa jahatnya saya. Itu melelahkan. Nanti kalau jemaat jadi sedikit, pengerja mengkhianati kita, sakit kita. Jumlah kolekte tidak banyak, atau jemaat pindah, kita tidak suka. Saudara, hidup harus dibuat simple. Itu contoh saya sebagai pendeta.

Saudara punya persoalan, mungkin belum punya rumah, ya kontrak saja. Simple. Kalau punya uang nanti beli, kalau belum punya ya kontrak lagi. Belum bisa beli mobil ya naik motor. Nanti kalau sudah punya uang ya beli mobil. Yang lain naik sedan, Anda naik minibus tidak masalah. Orang-orang jalan-jalan bisa ke luar negeri, Anda cukup ke jogja saja happy. Bukan melarang kita jalan-jalan. Orangtua harus memenuhi kewajibannya untuk anak-anaknya, jalan-jalan. Itu bagian dari pelayanan. Tuhan senang juga, bukan tidak senang. Kita bukan monyet, ingat itu. Tetapi semua dilakukan di dalam kebersamaan dengan Tuhan, simple.

Kalau kita jalani hidup seperti ini, nanti ada satu saat kita pasti menemukan bagian kita, mengapa kita diciptakan seperti ini. Kita pasti menemukan tugas yang Tuhan berikan untuk kita penuhi dan mestinya kesadaran mengenai tugas ini kita miliki sejak muda, sejak dini, supaya ketika kita meninggal dunia, suatu hari menghadap Tuhan Yesus, kita berkata “Tuhan, aku sudah selesaikan tugasku”. Kita bisa mencium kaki Tuhan yang berlubang paku dan berkata “aku telah menyelesaikan tugasku, Tuhan, dan itulah alasan mengapa aku hidup, itulah alasan mengapa aku menikah, punya anak, bekerja, dan melakukan segala sesuatu. Sebab baik aku makan atau minum atau melakukan sesuatu, aku lakukan semua untuk kemuliaan Allah”. Itulah kelegaan yang sejati. Dan orang yang memiliki kelegaan yang sejati ini akan menikmati kelegaan kekal di kerajaan surga.

Tetapi sedikit sekali orang yang masuk ke wilayah ini, sebab orang mencurigai Tuhan. Orang berkata “masa mesti hidup seperti ini, wah itu mah sangat ekstrim, itu mah tidak wajar.” Saudaraku, dari dulu Yesus hidup tidak wajar di mata manusia. Paulus pun hidup tidak wajar di mata manusia. Paulus berkata, “bagiku hidup adalah Kristus sepenuhnya”. Seperti yang dikatakan dalam 2 Kor 5:14-15, kalau Yesus telah mati bagi kita, semua kita sudah mati. Dan kalau kita hidup, kita hidup bagi Dia yang sudah mati untuk kita.

Saudaraku, mengumbar kesenangan di dunia yang sudah rusak atau jatuh ini berbahaya. Banyak jebakan yang membawa manusia ke dalam api kekal. Adalah aman kalau prinsip kita adalah melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaa-Nya. Nanti di langit baru bumi baru, di kekekalan, kita baru bisa mengumbar semua kesenangan. Segala yang indah yang pernah Allah ciptakan di bumi akan kita nikmati di kekekalan.

Sebagai manusia, saya juga ingin memiliki rumah besar, halaman luas, kalau bisa ada kolam renangnya, kolam ikan, binantang peliharaan, kalau bisa ada di tepi laut atau pantai, dan dari halaman bisa lihat satu gunung yang tidak jauh dari pantai. Kita juga pengen, Saudara. Tetapi kita tunda. Kita tunda di langit baru bumi baru, sebab perhentian yang sesungguhnya itu hanya di dalam Tuhan. Kalau kita memiliki perhentian di dalam Tuhan sekarang, semua kenikmatan yang manusia butuhkan akan diberikan. Ya tentu saja bukan karena keindahan itulah kita mau masuk surga, tetapi kita mau bertemu dengan Tuhan muka dengan muka. Tuhan yang telah mati bagi kita, menebus dosa-dosa kita.

Oleh sebab itu kita kembali kepada Matius 11:29, “Pikullah kuk yang Kupasang”. Kuk itu artinya lambang pendidikan dan lambang pendayagunaan atau lambang perbudakan. Tuhan memberi kuk untuk mendidik kita supaya kita bisa digunakan, diperbudak, atau dipakai oleh Allah. Kuk adalah alat untuk menjinakkan hewan, seperti kuda atau sapi yang harus dijinakkan. Setelah dijinakkan baru bisa dipakai. “Aku lemah lembut dan rendah hati” kata Tuhan. Tuhan akan mendidik kita dengan lemah lembut dan rendah hati. Berilah dirimu untuk dibentuk. Dengan kesabaran-Nya, Tuhan akan membentuk. Saudara mungkin berkata, “Saya duniawi Pak, watak saya buruk Pak, saya benar benar brengsek”. Saya beritahu Saudara, saya juga begitu. Tetapi saya mau memberi diri untuk dibentuk lewat proses perjalanan yang panjang. Kita baru bisa mengerti bagaimana Tuhan mendesain kita menjadi manusia yang hidup bagi Dia, dan itu akan ditandai dengan jiwa yang tenang, yang disebut kelegaan.

Saya senang dengan satu kalimat yang saya temukan hari-hari ini, “aku harus sudah selesai sebelum selesai”. Artinya sebelum aku meninggal, aku sudah selesai, tak lagi kuminta apapun selain berkenan di hadapan Allah. Inilah puncak kemerdekaan itu, inilah kelegaan yang sejati. Mudah sekali mengkhotbahkannya. Anda pasti senang dan mengerti mendengarnya, tetapi betapa sulitnya mengenakannya. Tetapi kita melalui perjuangan panjang akhirnya bisa kita capai, kita selesai sebelum kita meninggal dunia.

Berapa umur Saudara hari ini? Masih berapa sisa umur hidup Saudara? Apakah di sisa umur hidup Saudara, Saudara bisa “dijinakkan” oleh Tuhan, “diremukkan” oleh Tuhan, “dilembutkan" oleh Tuhan sehingga Saudara bisa memiliki prinsip seperti prinsip Tuhan Yesus, yaitu “Makanan-Ku melakukan kehendak Bapa dan menyelesaiakan pekerjaan-Nya”?

Kesempatan ini berharga, Saudara. Kalau berlalu, kesempatan ini tidak akan pernah kita dapatkan lagi. Tuhan Yesus adalah hadiah, tetapi kita tidak boleh hanya merespon secara pasif. Kita harus merespon secara aktif. Anda bisa mendapat mobil mewah, tetapi tidak bisa mengendarai mobil mewah, percuma mobil itu. Yesus adalah kemewahan di atas segala kemewahan. Damai sejahtera-Nya tidak seperti yang diberikan dunia. Miliki hati yang bisa menerima anugerah keselamatan itu, bisa menikmati kelegaan di dalam Tuhan. Anda tidak perlu berkata “aku mampu” karena Anda tidak akan mampu, tetapi Anda bisa berkata “aku mau, didiklah aku Tuhan” maka Tuhan akan mendidik Saudara. Amin.